
Oleh : Nekiles Yigibalom
Pada tanggal 15 hingga berlanjut 19, 2019. oleh ORMAS Reaksioner melontarkan kata-kata bernuansa penghinaan rasial seperti “menyebut orang Papua sebagai monyet, anjing, dan babi,” pihak aparat tidak mengamankan situasi itu tetapi justru terjadi pembiaran dan ikut terlibat persekusi dan pengepungan asrama dengan mengeluarkan gas air mata”
Kasus diskriminasi terhadap mahasiswa asal Papua kerap terjadi, termasuk di Kabupaten Jember. Salah satunya dialami Kostantina 24 tahun, pada Agustus 2019. Saat itu, mahasiswa Papua yang berkuliah di Kabupaten Jember diundang untuk mengikuti kegiatan Karnaval Agustus-san di Kecamatan Rambipuji.
Kostantina menari bersama enam orang lainnya yang bukan dari Papua. Panitia sempat mengarahkan Kostantina untuk memegang tangan Bupati Jember dan mengajak menari bersama-sama.
Namun tiba-tiba tangan Kostantina ditarik diminta keluar dari kegiatan karnaval tersebut dengan alasan mengenakan pakaian yang tak sopan. Padahal saat itu Kostantina mengenakan pakaian khas Papua yang sudah dimodifikasi.
“Polisi tarik saya tangan lalu di suruh keluar karena pakaian dianggap kurang sopan dan tidak pantas. Hal itu dikatakan setelah saya ditarik keluar. Saya merasa tersingung karena budaya saya seperti itu, “kata Kostantina saat ditemuisuaracendrawasih.com pada hari sabtu, (15/04/2023), tepatnya di Dabelway Unej, pukul 12.00 WIB.
“Saat itu, saya merasakan diskriminasi. Seharusnya kita sebagai manusia menghargai, melestarikan, merawat tradisi dan adat bukan malah pelecehan,” jelas Kostantina.
Ia mengaku ikut kegiatan karnaval dan menampilkan budaya Papua karena menghargai undangan. Namun tindakan yang dialami membuat Kostantina kecewa.
“Tindakan aparat itu saya benar kecewa, dan banyak teman-teman Papua juga ikut kecewa. Seharusnya sebelum menampilkan tarian, mereka bisa bicara apa yang boleh dan tidak boleh. Termasuk urusan kostum. Bukan menarik tangan saya yang sedang menari di hadapan banyak orang. Saya benar-benar kecewa dan malu bahkan menyesal kenapa ikut kegiatan ini,” ucap dia.
Diskriminasi juga dialami seorang mahasiswa Papua bernama Maner Kay saat itu tahun 2019 ketika ia duduk di semester empat. Ia masih ingat diskriminasi terjadi pada 4 Mei 2019 bersamaan dengan ramainya kasus rasisme mahasiswa Papua di Surabaya.
Saat itu ia mengikuti kuliah lapangan di Bali selama empat hari. Sebelum pulang, rekan-rekannya foto bersama dengan kepala desa setempat. Namun salah satu rekannya menanyakan apakah Maner Kay mau foto bersama. Padahal saat itu Maner sudah siap untuk foto dengan rekan-rekannya.
Medengar pertanyannya rekannya, Maner Kay mengaku tersinggung dan memilih pergi dari lokasi tanpa ikut foto bersama. Ia pun menungu di parkiran mobil. Ia mengaku sempat menegur rekannya terkait perilaku diskriminasi yang dilakukannya saat foto bersama.
Namun respon tak sesuai dengan keinginan. Sejak saat itu, Maner Kay mengaku marah dan semakin merasakan diskriminasi.
"Pada semester empat pertengahan saya jalan duduk dengan teman-teman pasti mereka tidak mau duduk sama saya. Saya begitu jalan ke mereka, pasti mereka mingir lalu menghindar dari saya," kata dia.
Diskriminasi lainnya yang mengarah pelecehan juga dialami oleh salah satu pelajar Papua yang ikut program ADEM di salah satu SMA Negeri di Jember. Saat itu ada oknum aparat yang datang ke kontrakannya dan meminta foto dengan para pelajar Papua pada 20 Maret 2021.
Tak hanya itu, oknum aparat tersebut juga bertanya hal yang terkesan melecehkan tentang menstruasi.
“Tanya banyak hal yang tidak sewajar seperti sudah datang bulan (menstruasi) atau tidak. Tetapi kami diam karena hal itu sangat privasi,” kata pelajar berinisial WK. 18 tahun itu.
Para aparat juga pernah mendatangi kontrakan pelajar Papua lainnya di Jember pada 20 Maret 2021. Kedatangan mereka melalui koordinasi dengan pembina sekolah. Kedatangan aparat tersebut membuat para pelajar merasa tak nyaman dan terintimidasi.
Diskriminasi tak hanya dialami oleh mahasiswa. Pada tahun 2022 di SMA Pakusari Kabupaten Jember Jawa Timur, salah satu oknum guru berinisial EBP melontarkan kata-kata rasis kepada pelajar asal Papua yang ikut Program Afirmasi (ADEM) di SMA tersebut.
“Kata-kata rasis bermunculan ketika beberapa siswa yang tidak mengerjakan tugas termasuk saya.” kata Alfred (20 tahun itu menjelaskan saat ketemu suara cendrawasih).
Saat itu, semua murid yang tidak mengerjakan PR dihukum berdiri di depan kelas. Saat semuanya diminta duduk kembali, Alfred disuruh duduk di lantai bukan di kursi.
“Sdangkan saya disuruh duduk dibawa lantai padahal teman-teman saya sama-sama tidak mengerjakan tugas. Oknum guru itu, Sambil menyadingkan antara saya dan teman-teman berasal dari jawa, lalu disemprot dengan ujaran rasis, seperti ‘dia hitam tapi kalian enggak, kalian santik ganteng tapi dia gak’,” ujar Alfred.
“Saya duduk dibawa lantai selama jam pelajaran itu habis, sedangkan teman-teman duduk di kursi,” tambah dia.
Kejadian tak mengenakkan yang dialami Alfred viral di media sosial hingga respon Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa berkunjung ke SMA tersebut pada 21 Januari 2022.
Saat itu Khofifah mengajak pelajar asal Papua menyanyikan lagu Indonesia Raya serta mengibarkan bendera Merah Putih. Selain itu Khofifah juga membagikan baju Timnas ke pelajar Papua di sekolah tersebut.
Diskriminasi juga dialami Organisasi Mahasiswa dan Pelajar Papua (PERMAPPA) pada 6 Maret 2021 pada pukul 16.30 WIB.
Saat itu, PERMAPPA melaksakan kegiatan penerimaan mahasiswa baru Papua di Jalan Lengkong, Kecamatan Mumbulsari, Jember. Kegiatan tersebut dibubarkan oleh kelompok masyarakat serta aparat.
Saat akan menggelar tradisi bakar batu, saat momen tertentu seperti Natal dan acara wisuda, PERMAPPA juga harus mengurus perizinan yang cukup rumit. Mereka juga harus memilih lokasi yang jauh dari pemukiman. Surat izin akandiajukan kepada pihak RT, Desa, Satpol PP hingga pihak kepolisian.
Bahkan polisi menjaga ketat saat mahasiswa asal Papua melakukan tradisi bakar batu. Salah satu alasanya adalahketakutan mahasiswa asal Papua sedang melakukan kegiatan politik. Padahal mereka sedang melakukan tradisi bakar batu.
Bentuk intimidasi lainnya adalah orang tak dikenal meletakkan ular weling di depan pintu kontrakan mahasiswa Papua di Jember pada Kamis 9/2/2022).
Lalu keesokan harinya, orang tak dikenal juga meracun anjing peliharaan di kontrakan mahasiswa Papua di Jember hingga mati. Allom, salah satu penghuni kontrakan mengatakan hal tersebut adalah bagian dari teror agar mereka tak tinggal di lokasi tersebut.
Diskriminasi lain yang menimpah pada mahasiswa papua di Jember. Alm Yomiles saat berobat di salah satu Rumah sakit di daerah kampus Negeri Jember. Dokter yang melayani “menolak dilayani, kata dokter, kamu pulang kembali pake celana panjang lalu bisah dapat dilayani” ucap dokter, hal ini menceritakanYomi kepada redaksi, pada tanggal 8/12/2022. Pukul 16 sore.
Diskriminasi juga dialami oleh May, mahasiswa di salah satu kampus negeri di Jember yang diancam drop out oleh Dosen Pembimbing Akademik tanpa alasan. Selama kuliah, May adalah penerima Beasiwa Afirmasi Papua tahun 2019.
May bercerita pada 9 Maret 2023, pukul 23.00 WIB, oknum dosen tersebut mengirim pesan melalu WhatsApp berisi dokumen yang salah satunya terdapat kolom dengan nama May yang diblok warna merah. Tanda dari blok warna merah tersebut adalah May terancam drop out karena masuk dalam daftar evaluasi.
“Lalu keesokan harinya berjanjian untuk menghadap kepada dosen wali di kampus untuk meminta penjelasan terkait alasan diancam (DO), setelah ketemu di kampus ternyata Dewan Pembimbing Akademik sengaja melakukan hal tersebut tanpa alasan,” kata May pada (jumat, 10 Maret 2023).
Menanggapi diskriminasi tersebut. Dari pihak kampus saat diwawancara, “kalau dari kami pihak kemahasiswaan diskriminatif tidak ada, terkait dengan layanan kami di kampus Semua mahasiswa itu sama, itu yang pertama. Tetapi khusus mahasiswa Afirmasi ada kekhususan secara pemberian beasiswanya, masing-masing diberikan kemudahan baik didalam kampus maupun biaya hidup, itu teman-teman afirmasi memang dari pusat begitu. Kata Jarkasi, Kabang Kemahasiswaan Universitas Jember, setelah menemui Jurnalis di ruang kerjanya, pada 26 April 2023. Pukul 12.00 WIB.
ini hubungannya dengan beasiswa, lanjut Jarkasi, ya apabila mahasiswa nilainya turun itu tidak dikeluarkan dari program Afirmasi, masih dijalankan masih diberi kesempatan, itu beda dengan yang lain, kalau afirmasi tidak, jika nilainya dibawa standar masih kita beri beasiswa. Tapi kalau diskriminasi tidak ada hanya kemudahan-kemudahan itu kita berikan, kata pak Jarkasi kepada redaksi.
“Memang ada kultur yang berbeda ya. Kultur Masyarakat disini itu mungkin sudah terbiasalah dengan masyarakat istilahnya biasa. tetapi kalau dengan teman-teman mahasiswa Papua ini belum “ketemu” untuk mempertemukan ini dari teman-teman mahasiswa afirmasi Papua perlu memahami kultur setempat pula orang-orang sekitar juga memahami kultur Mahasiswa Papua”. Ucapnya.
Lanjut, Mahasiswa afirmasi juga harus menyelaskan ke mereka bahwa kami punya kultur budaya seperti begini demikian masyarakat setempat sampaikan kepada teman-teman mahasiswa Papua supaya sama–sama tahu tekait kultur tersebut. Hal ini menjawab Pak Jarkasi saat bertanya wartawan di ruang kerja.
Mahasiswa afirmasi Papua harus ada kesepakatan dengan masyarakat setempat yang boleh di lakukan dan mana tidak boleh, mana boleh dilanggar dan mana tidak boleh dilanggar atau dilaksanakan, misalkan sebuah masyarakat itu tidak sukai ramai-ramai stegah malam diatas jam 00 sampai 1 berarti kami mengikuti masyarakat tersebut, ucap kabang kemahasiswaan.
Sebelumnya aman, tetapi Tahun 2019 sampai kesini mahasiswa Papua di Jember kesulitan mendapatkan tempat tinggal (kontrakan/kos), mungkin karena orang Papua”. kata Pembina Mahasiswa dan pelajar di Jember saat ditemui redaksi di wirowongso, pada 15 Mei 2023).
Lanjut Pembina, ada beberapa kos putri papua di usir atau disuru pinda tanpa alasan yang jelas, tepatnya di jalan Kalimantan, alasanya gegara tidak hadir saat tuan kos di kumpulkan merekauntuk rapat namun saat itu mahasiswa ini tidak hadir karena sibuk dengan mereka punya tugas.
Sering mendaptkan perlakuan Diskriminasi dari oknum wasit saat kami ikut pertandingan, menurutnya, “saat berlangsung pertandingan meskipun kami tidak melakukan pelangaran tetapi wasit selalu disalahkan ke kami dan setiap ikut pertadingan kami selalu dikalahkan oleh wasit. Menurutnya ini bagian dari diskriminasi. Tutur Agus.
Selain itu, membuat kami bertanya, saat kami PERMAPPA ikut pertandingan di daera Lengkong tepatnya tahun 2018, saat itu team mahasiswa Papua bertanding dengan team Mubulsari namun wasit yang di pimpin membawa pisau isi kedalam kaos kaki, maka kami menduga mungkin karena orang papua yang main.” kata Agus Siep, S.E saat menemui suara cendrasasih.
Ia menambahkan, teman-teman, adik-adik sering mengalami diskriminasi di kos/kontrakan itu banyak, membeda bedakan itu sering terjadi dalam kehidupan di lingkungan masyarakat. tuturnya
Kami tidak menganggu warga di sekitar, kalau minumberalkohol lalu ribut di warga ya itu wajar mendapatkan teguran dari warga, tetapi kami berkumpul hanya minum kopi, itu saja warga punya stigma buruk ada di kepala, saya kira ini perlu dirubah lalu membagun suatu harmonisasi dan kondusifitas tanpa diskriminasi yang membeda-bedakan.”ucapnya.
Socrates sofyan Yoman dalam buku: “Pemekaran dan Kolonialisme Modern di papua” Hal. 19, 2022. beliaumenuliskan terhadap sikap Gus Dur, “Bangsa Indonesia dikenal bangsa yang ramah, rakyatnya punya keluhuran hati nurani, dan mecintai harmoni dan kedamaian antar sesama. Bangsa Indonesia pernah punya pemimpin yang mencintai kemanusiaan dan dekat di hati Indonesia terutama rakyat papua.”
“Kebijakan dan cara Gus Dur memberlakukan bangsa Papua yang bermartabat itu selalu dikenang dan meninggalkan jejak sejarah berharga bagi kehidupan dan kemanusiaan bangsa Papua.Gusdur merepresentasekan nilai kultur keluhuran hati nurani kepada dunia, Indonesia, dan juga secara khusus Orang asli Papua. Bahkan, bagi bangsa Papua, Gus Dur merupakan simbol nyata dari kehidupan rakyat Indonesia.”
Pada bagian akhir Pdt. Socratez Menaruh keyakinan nilai-nilai yang diperjuangkan Gus Dur, telah tumbuh dan berkembang di kalangan generasi muda saat ini. Orang-orang muda di berbagai daerah di tanah air inilah yang menjadi energy lebih positif dan menerima keterbukaan terhadap apa yang dialami oleh Mahasiswa Papua.
Yoman, 2022, dalam buku Pemekaran dan Kolonialisme Modern di Papua menegaskan rasisme itu sebuah kejahatan kemanusiaan yang harus dilawan. Rasisme adalah musuh orang Muslim, musuh orang Hindu, musuh orang Budha musuh orang Konghucu, musuh orang Atheis, musuh orang Kristen. Rasisme ialah musuh kita bersama sebagai manusia. Mari kita sama-sama lawan dan memberantas rasisme”.
Saya percaya rakyat Indonesia pada umumnya memiliki keluhuran hati nurani. Orang-orang ramah dan sangat menghormati kemanusiaan dan kesamaan derajat serta mecintai kedamaian dan harmoni dalam kehidupan antar sesame manusia sebagai ciptaan tuhan.
0 Komentar